Faktapadang.id, NASIONAL – Tragedi Pondok Pesantren Sidoarjo memasuki hari ketujuh dengan kabar duka. Hingga Minggu (5/10) siang, jumlah Korban Ambruknya Gedung Musala empat lantai Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, bertambah menjadi 37 orang. Tim SAR gabungan kembali menemukan 12 jenazah dan satu potongan tubuh dari balik reruntuhan beton di lantai satu.
Deputi Bidang Penanganan Darurat BNPB, Mayjen TNI Budi Irawan, menyampaikan bahwa data ini masih bersifat sementara. Hal ini mengingat proses pembersihan puing baru mencapai 60 persen.
“Angka pastinya baru dapat dipastikan setelah pembersihan mencapai lantai dasar,” ujar Budi di lokasi kejadian.
Temuan terbaru ini mengurangi jumlah korban hilang menjadi 26 orang berdasarkan daftar absensi santri.
Kendala Evakuasi, Kesehatan Petugas, dan Risiko Lingkungan
Proses evakuasi menghadapi kendala teknis dan risiko kesehatan. Sebagian beton musala diketahui menempel dan terhubung dengan bangunan di sebelahnya. Hal ini menyebabkan proses pembersihan berisiko menimbulkan kerusakan lanjutan.
Keterlibatan Tim Ahli dari ITS
Untuk mengatasi kendala struktural, BNPB menggandeng tim ahli dari Institut Teknologi Surabaya (ITS). Tim ahli ini bertugas melakukan investigasi forensik struktur bangunan.
“Tim ITS akan memberi rekomendasi agar pembersihan tidak menimbulkan kerusakan tambahan,” kata Budi.
Keterlibatan akademisi ini penting. Tujuannya adalah memastikan proses penanganan dilakukan secara ilmiah dan tidak hanya reaktif.
Kondisi Petugas dan Ancaman Penyakit
Memasuki hari ketujuh, ratusan petugas SAR dari berbagai elemen (BNPB, Basarnas, TNI, Polri, dan relawan) masih bekerja 24 jam secara bergiliran. Sebagian petugas mulai mengalami kelelahan fisik dan gangguan kulit. Oleh karena itu, pemerintah menambah dukungan medis dan suplemen stamina.
Selain fokus pencarian, perhatian juga tertuju pada ancaman penyakit. Cairan pembusukan jenazah yang lebih dari sepekan tertimbun dapat mencemari sumber air bersih. Kondisi ini bisa memicu penyakit berbasis lingkungan, seperti:
- Diare
- Kolera
- Hepatitis A
“Kita ingin memastikan tidak ada krisis kesehatan lanjutan akibat pencemaran lingkungan,” tegas Budi.
BNPB bersama Pusat Krisis Kesehatan RI dan Dinkes Jatim melakukan penyemprotan disinfektan dan pengawasan kualitas air secara intensif.
Dukungan Psikososial dan Tuntutan Akuntabilitas Negara
Di tengah duka akibat meningkatnya Korban Ambruknya Gedung Musala, pemerintah juga membuka layanan psikososial dan kesehatan gratis. Layanan ini disediakan bagi keluarga korban dan masyarakat di posko kesehatan dekat lokasi bencana. Dinas Kesehatan juga menyediakan terapi alternatif seperti pijat refleksi dan bekam.
“Kami berupaya agar masyarakat tetap kuat menghadapi situasi ini. Pemulihan mental sama pentingnya dengan pemulihan fisik,” ujar seorang petugas kesehatan di lokasi.
Tuntutan Akuntabilitas dan Perbaikan Sistemik
Tragedi Pondok Pesantren Sidoarjo ini lebih dari sekadar bencana fisik. Peristiwa ini adalah alarm keras atas lemahnya pengawasan pembangunan gedung publik keagamaan. Bangunan empat lantai tersebut diduga didirikan tanpa kajian struktur dan pengawasan teknis yang memadai.
Pakar kebijakan publik menilai, pemerintah daerah harus bertanggung jawab atas lemahnya pengawasan. Tragedi ini memperlihatkan celah besar dalam penerapan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) yang seharusnya menggantikan IMB. Banyak lembaga pendidikan nonformal mendirikan bangunan secara swadaya tanpa melibatkan tenaga ahli konstruksi bersertifikat.
“Bangunan pendidikan, apalagi pondok pesantren, seharusnya masuk kategori prioritas dalam audit keselamatan publik,” ujar seorang pengamat kebijakan kebencanaan.
Tragedi ini harus menjadi momentum perbaikan sistemik, memastikan setiap proyek bangunan publik memiliki standar keamanan minimum sebelum difungsikan.
(*Drw)













