Faktapadang.id, NASIONAL – Komisi Pemilihan Umum (KPU) tengah mengkaji secara serius prospek dan tantangan pemanfaatan teknologi informasi dalam penyelenggaraan pemilihan umum di masa depan. Isu krusial ini menjadi sentral dalam diskusi yang mempertemukan KPU dengan berbagai kementerian dan lembaga terkait.
Diskusi tersebut diinisiasi oleh Koalisi Pewarta Pemilu dan Demokrasi (KPP DEM) di Jakarta, Selasa (28/10/2025).
Diskusi yang bertajuk “Tantangan Digitalisasi Pemilu dan Bonus Demografi Menuju Indonesia Emas” ini menyoroti urgensi adaptasi teknologi sekaligus potensi hambatannya.
Anggota KPU, Iffa Rosita, yang hadir sebagai narasumber, mengakui bahwa digitalisasi adalah sebuah keniscayaan yang harus dihadapi.
Namun, ia menyoroti satu tantangan internal yang krusial yang dihadapi KPU.
Kesiapan SDM Jadi Sorotan Utama KPU
Iffa Rosita tidak memungkiri bahwa kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM), khususnya di tingkat pelaksana adhoc seperti Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), menjadi evaluasi besar. Menurutnya, kemampuan petugas di lapangan dalam memanfaatkan teknologi informasi seringkali belum sesuai dengan ekspektasi KPU.
“Ini enggak bisa kita pungkiri ya. Kami pun harus membuka diri mengevaluasi terhadap bagaimana SDM di seluruh Indonesia,” ujar Iffa.
Pengakuan ini menunjukkan bahwa Tantangan Digitalisasi Pemilu KPU terbesar bukan hanya pada teknologi itu sendiri, melainkan pada kemampuan adaptasi pelaksana di lapangan.
Meski demikian, Iffa menegaskan bahwa KPU sendiri sebenarnya telah lama memanfaatkan teknologi dalam berbagai tahapan pemilu.
Tata Kelola AI dan Syarat Ketat E-Voting
Tantangan teknologi dalam Digitalisasi Pemilu di Indonesia juga datang dari perkembangan pesat Artificial Intelligence (AI).
Staf Ahli Kemkomdigi, Wijaya Kusumawardhana, menekankan pentingnya membangun etika dan tata kelola AI sebelum diadopsi penuh dalam pemilu.
Pihaknya bahkan telah menyusun draf masukan untuk revisi UU Pemilu guna memperbaiki tata kelola digital secara komprehensif.
Di sisi lain, opsi e-voting (pemungutan suara elektronik) muncul sebagai langkah digitalisasi yang ekstrem. Anggota Komisi II DPR, Mardani Ali Sera, mengusulkan opsi ini.
Namun, ia memberi syarat ketat yang harus dipenuhi:
- Keamanan sistem e-voting harus teruji secara mutlak.
- Etika penyelenggara pemilu harus sudah sangat tinggi untuk menjaga kepercayaan publik.
Mardani Ali Sera menegaskan bahwa tanpa dua syarat tersebut, penerapan e-voting berpotensi menimbulkan masalah baru.
Dengan adanya berbagai tantangan—mulai dari kesiapan SDM, tata kelola AI, hingga syarat implementasi e-voting—pemerintah dan KPU harus bekerja ekstra keras untuk memastikan transisi menuju Digitalisasi Pemilu di Indonesia dapat berjalan dengan aman, transparan, dan terpercaya.
(*Drw)













